Dari
keberhasilan satu ke sukses lain membuat kami jadi terbiasa. Setiap
malam satu per satu makanan penumpang lain kami curi. Sasaran kami
terutama mereka yang baru naik, yang belum mengenal situasi. Selain itu,
penumpang baru biasanya membawa banyak makanan persediaan untuk
perjalanan.
Suatu hari, saat kapal singgah di Sorong, naik satu keluarga terdiri dari seorang kakek, anak, menantu, dan dua cucunya. Mereka keluarga transmigran yang hendak pulang ke Jawa. Mata kami berbinar-binar melihat barang bawaan mereka. Teruama sebuah kaleng biskuit Khong Guan yang mereka tenteng. Dari fisiknya, kami segera tahu itu kaleng baru, yang belum dibuka. Artinya, sebentar lagi kami akan berpesta biskuit.
Saat yang ditunggu tiba. Malam hari, ketika mereka terlelap, kami mulai beraksi. Dengan mudah kaleng biskuit itu berpindah tangan. Di atas anjungan, di kegelapan, kami berpesta pora. Dalam hitungan menit isi biskuit tandas. Kalengnya kami lempar ke laut. Setelah itu kami tertidur pulas. Pagi hari terjadi keributan. Geger. Keluarga tersebut sibuk bertanya ke sana ke mari perihal biskuit mereka. Tidak seorang pun yang ditanya bisa memberi info. Kalaupun ada yang tahu, mereka tentu tidak mau mencari-cari perkara dan harus berurusan dengan sekelompok anak muda yang sedang kelaparan.
Setelah lelah mencari dan bertanya, keluarga itu akhirnya menyerah. Pasrah. Wajah mereka tampak masgul. Begitu memelas. Sang kakek bahkan menangis. Pada saat itu saya baru tersadar betapa biskuit itu punya arti luar biasa bagi keluarga itu. Mata saya juga seakan baru terbuka. Melihat penampilan mereka, dari pakaian dan koper yang dibawa, jelas kondisi ekonomi mereka jauh dari sejahterah.
Dari hasil menguping, ternyata mereka transmigran asal Trenggalek, Jawa Timur, yang hendak pulang kampung untuk Lebaran. Dengan segenap kemampuan mereka mengumpulkan uang untuk membeli tiket ‘kelas dek’. Sementara sang kakek menguras uang tabungannya demi sekaleng biskuit merek Khong Guan.
Cucu sang kakek setiap hari merengek meminta agar diperkenankan membuka kaleng dan menikmati biskuit di dalamnya. Namun sang kakek berusaha membujuk agar kedua cucunya bersabar. Jika tiba waktunya tentu diperbolehkan menikmati biskuit itu sepuasnya. Waktu yang dijanjikan itu adalah saat Lebaran nanti. Selain Lebaran memang hari yang istimewa, rupanya keluarga tersebut juga ingin ‘memamerkan’ lebih dulu biskuit tersebut kepada tetangga mereka di kampung. Keluarga itu ingin menunjukkan kepada warga desa betapa mereka sudah ‘berhasil’ di tanah rantau. Simbol keberhasilan itu mereka wujudkan dalam bentuk sekaleng biskuit Khong Guan. Namun simbol kebanggaan itu telah raib dicuri sekelompok pemuda iseng.
Maka sepanjang sisa pelayaran kami menyaksikan wajah-wajah yang bersedih. Terutama wajah sang petani tua. Muncul penyesalan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada keberanian untuk mengaku di hadapan mereka bahwa kamilah yang mencuri biskuit itu. Sementara kami juga tidak memiliki kemampuan untuk mengganti biskuit yang dicuri.
Kami sungguh menyesal. Kegembiraan kami menyantap biskuit curian malam itu ternyata beralaskan penderitaan sebuah keluarga yang kehilangan kebanggaan dan mimpi. Mimpi berlebaran dengan sekaleng biskuit yang dibeli dengan uang tabungan seorang petani tua.
Cerita lengkapnya klik saja di http://kickandy.com/corner/5/21/1196/read/Biskuit-Lebaran.html @BiskuitLebaran.
Suatu hari, saat kapal singgah di Sorong, naik satu keluarga terdiri dari seorang kakek, anak, menantu, dan dua cucunya. Mereka keluarga transmigran yang hendak pulang ke Jawa. Mata kami berbinar-binar melihat barang bawaan mereka. Teruama sebuah kaleng biskuit Khong Guan yang mereka tenteng. Dari fisiknya, kami segera tahu itu kaleng baru, yang belum dibuka. Artinya, sebentar lagi kami akan berpesta biskuit.
Saat yang ditunggu tiba. Malam hari, ketika mereka terlelap, kami mulai beraksi. Dengan mudah kaleng biskuit itu berpindah tangan. Di atas anjungan, di kegelapan, kami berpesta pora. Dalam hitungan menit isi biskuit tandas. Kalengnya kami lempar ke laut. Setelah itu kami tertidur pulas. Pagi hari terjadi keributan. Geger. Keluarga tersebut sibuk bertanya ke sana ke mari perihal biskuit mereka. Tidak seorang pun yang ditanya bisa memberi info. Kalaupun ada yang tahu, mereka tentu tidak mau mencari-cari perkara dan harus berurusan dengan sekelompok anak muda yang sedang kelaparan.
Setelah lelah mencari dan bertanya, keluarga itu akhirnya menyerah. Pasrah. Wajah mereka tampak masgul. Begitu memelas. Sang kakek bahkan menangis. Pada saat itu saya baru tersadar betapa biskuit itu punya arti luar biasa bagi keluarga itu. Mata saya juga seakan baru terbuka. Melihat penampilan mereka, dari pakaian dan koper yang dibawa, jelas kondisi ekonomi mereka jauh dari sejahterah.
Dari hasil menguping, ternyata mereka transmigran asal Trenggalek, Jawa Timur, yang hendak pulang kampung untuk Lebaran. Dengan segenap kemampuan mereka mengumpulkan uang untuk membeli tiket ‘kelas dek’. Sementara sang kakek menguras uang tabungannya demi sekaleng biskuit merek Khong Guan.
Cucu sang kakek setiap hari merengek meminta agar diperkenankan membuka kaleng dan menikmati biskuit di dalamnya. Namun sang kakek berusaha membujuk agar kedua cucunya bersabar. Jika tiba waktunya tentu diperbolehkan menikmati biskuit itu sepuasnya. Waktu yang dijanjikan itu adalah saat Lebaran nanti. Selain Lebaran memang hari yang istimewa, rupanya keluarga tersebut juga ingin ‘memamerkan’ lebih dulu biskuit tersebut kepada tetangga mereka di kampung. Keluarga itu ingin menunjukkan kepada warga desa betapa mereka sudah ‘berhasil’ di tanah rantau. Simbol keberhasilan itu mereka wujudkan dalam bentuk sekaleng biskuit Khong Guan. Namun simbol kebanggaan itu telah raib dicuri sekelompok pemuda iseng.
Maka sepanjang sisa pelayaran kami menyaksikan wajah-wajah yang bersedih. Terutama wajah sang petani tua. Muncul penyesalan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada keberanian untuk mengaku di hadapan mereka bahwa kamilah yang mencuri biskuit itu. Sementara kami juga tidak memiliki kemampuan untuk mengganti biskuit yang dicuri.
Kami sungguh menyesal. Kegembiraan kami menyantap biskuit curian malam itu ternyata beralaskan penderitaan sebuah keluarga yang kehilangan kebanggaan dan mimpi. Mimpi berlebaran dengan sekaleng biskuit yang dibeli dengan uang tabungan seorang petani tua.
-> |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar